Senin, 02 Januari 2012

Good Governance

BAB I
PENDAHULUAN

RAFIUDDIN, S.Pd, M.Pd
A.    Latar Belakang

Setiap warga negara akan selalu berhubungan dengan aktivitas Birokrasi Pemerintahan. Bahkan ketika seseorang masih berada dalam kandungan ia sudah mulai tergantung dengan pelayanan birokrasi. Apakah untuk keperluan pemeriksaan kesehatan (di RS atau Puskesmas ) atau setelah lahir dan harus mendapatkan “sertifikat sebagai warga dunia” berupa akta kelahiran. Ketergantungan  dengan birokrasi itu terus berlanjut, seiring dengan bertambahnya usia seseorang atau sejalan dengan ragam aktivitas yang dilakukan ditengah masyarakat. Sementara itu, jenis pelayanan umum yang diselenggarakan birokrasipun sangat kompleks  dan bahkan memasuki hampir setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Intervensi birokrasi yang demikian ini, sah-sah saja adanya, karena justru untuk menyelenggarakan fungsi itulah birokrasi  dibentuk.  

      Merupakan hal yang logis, jika kemudian birokrat atau aparatur publik itu dijuluki  Abdi Negara, karena pada pundaknya tugas-tugas kemasyarakatan, pemerintahan dan pembangunan diselenggarakan atas nama “organisasi politik super besar” yang disebut “negara”. Namun penting diingat, legitimasi yang diterima para abdi negara itu bersumber dari kepercayaan rakyat yang berdaulat. Artinya, seorang abdi negara  adalah seseorang yang mengemban amanat rakyat untuk mengayomi kepentingan kepentingan mereka (rakyat). Jadi, jika dikaitkan dengan sumber legitimasi ini, maka seseorang aparatur negara/ publik (pegawai negeri, birokrat atau abdi negara) itu, sesungguhnya adalah seorang abdi masyarakat. Ini berarti, bahwa tugas aparatur publik adalah melayani  masyarakatnya (public service).

   Kompleksnya pelayanan umum yang diberikan birokrasi, semakin mengabsahkan jaringan hirarkinya yang terbentang luas dari pusat hingga ke pelosok desa. Mengemban amanat rakyat, mengayomi dan memberikan pelayanan kepada mayarakat, mengadministrasikan tugas tugas pemerintahan dan pembangunan, adalah sebagian besar dari tanggung jawab yang diembannya. Dengan berbekal kode etik “Sapta Prasetya”, iapun dituntut berprilaku bersih sehingga wibawa dan kemuliaan memancar dari korpnya
Sudah sewajarnyalah rakyat berterima kasih kepada para “abdi” nya itu dan kemudian menaruh hormat terhadap lembaga atau korpnya. Tidak ada alasan bagi rakyat untuk tidak respek terhadap birokrasi. Namun ironisnya, persepsi masyarakat selama ini terhadap birokrasi tidaklah demikian adanya. Kondisi faktual dimasyarakat menunjukkan, bahwa berhubungan dengan birokrasi berarti berhadapan dengan kekuasaan perijinan yang menjelimet, penghormatan dari meja ke meja, atau bahkan formalisme yang eksesif.. Yang lebih parah lagi,acapkali rakyat diposisikan sebagai pembeli jasa yang harus siap membeli tiket layanan alias  amplop pelican,sekedar untuk mendapatkan layanan birokrasi. Hal ini disebabkan karena prosedur pelayanan yang semestinya memudahkan masyarakat sering ditunggangi kepentingan pribadi birokrat dan tidak jarang dijadikan komoditi layak jual.
Fenomena ini berlanjut mentradisi dalam korp birokrasi, meskipun sesungguhnya instrumen untuk menyikapinya sudah tersedia (misalnya, sistem pengawasan). Masyarakat pengguna jasa menganggap produk layanan birokrasi itu bukan lagi haknya yang dengan mudah dapat diperoleh (hanya dengan mengganti biaya bahan baku produk tersebut), melainkan telah memandang birokrasi itu sesuatu yang harus diakses dengan  koneksi tertentu mirip mekanisme hukum pasar. Dengan demikian ketentuan bahwa birokrasi memiliki kewajiban untuk melayani masyarakat menjadi berbalik, karena masyarakatlah yang harus “pintar” melayani kemauan birokrasi tersebut. Berangkat dari sinilah, fenomena kolusi, pungli dan penguasa perijinan dipersepsikan oleh masyarakat identik dengan birokrasi itu sendiri.
 “ Jargon abdi masyarakat hanyalah tinggal kenangan belaka atau sekedar slogan yang indah ?”.
            Menyikapi keadaan yang demikian itu, wajar jika kemudian timbul pertanyaan seputar peran birokrasi sebagai lembaga penyelenggara pelayanan masyarakat. “Benarkah birokrat itu abdi masyarakat?”
            Gejala phatologis birokrasi seperti yang telah dipaparkan diatas itu, menjadi semakin kronis ketika tumor tumor birokrasi lainnya, turut menghias kinerja birokrasi seperti : adanya proliferasi dan struktur ganda, instransparansi pertanggungjawaban (yang menyulut lahirnya manipulasi dan korupsi ), aplikasi patronase dalam rekrutmen pegawai (yang menyuburkan nepotisme dan suap), serta praktik mal-administrasi maupun mis-manajemen lainnya.
            Meskipun kondisi yang diungkapkan itu belum sepenuhnya dapat digeneralisir, apapun alasannya, fenomena yang demikian itu tentu tidak dapat dibiarkan berlarut. Sebab, jika fenomena phatologis itu dibiarkan menahun, maka tidaklah mustahil “krisis kepercayaan” masyarakat terhadap birokrasi suatu saat akan berubah menjadi destruktif. Dibeberapa tempat, ketakutan kaum birokrat elit untuk menggunakan kendaraan “plat merahnya” karena khawatir akan menjadi sasaran amuk massa, adalah indikator bahwa posisi rakyat telah berseberangan dengan birokrasi.
   Penting diingat bahwa, kita  tidak apriori dengan prestasi pembangunan yang berhasil dicapai selama ini, yang sebagian besar merupakan andil birokrasi dalam totalitas kinerjanya.Akan tetapi,  prestasi birokrasi dalam pembangunan itu akan tenggelam begitu saja jika penyakit birokrasi yang diderita selama ini, betapapun ringannya, dibiarkan terus tanpa solusi “penyembuhan”.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka rumusan makalah Ilmiah ini adalah sebagai berikut:
  1. Bagaimana kontur Model Birokrasi Indonesia?
  2. Bagaimana Good Governance, Hanya Sebuah Wacana?
C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan pada makalah ini Ilmiah adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui bagaimana kontur Model Birokrasi Indonesia
2.       Untuk mengetahui bagaimana Good Governance, Hanya Sebuah Wacana
D.    Metode Penulisan
Metode penulisan yang kami pergunakan dalam pembuatan makalah ini yaitu dengan menggunakan library research yaitu metode yang menggunakan buku-buku perpustakaan yang berhubungan dengan tema makalah yang kami buat sebagai bahan utama maupun penunjang dalam pembuatan makalah Ilmiah ini.

 BAB II
PEMBAHASAN

A.    KONTUR MODEL  BIROKRASI INDONESIA
Drs.Moerdiono (1992) pernah menyusun kontur model birokrasi Indonesia sebagai berikut :
1.            Birokrasi Indonesia perlu dipahami sebagai bagian integral dari sistem penyelenggaraan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
2.            Birokrasi Pemerintahan, kita maksudkan sebagai birokrasi sipil dibawah cabang eksekutif.
3.            Birokrasi Pemerintahan merupakan bagian dari suprastruktur politik dan mempunyai hubungan fungsional dengan lembaga penyeleggara negara lainnya.
4.            Birokrasi Indonesia bukan alat mati pemerintahan tapi diharapkan mempunyai kesadaran nasional yang tinggi, yang mampu secara kreatif melaksanakan tugas pemerintahan dan tugas pembangunan dengan efektif dan efisien.
5.            Birokrasi Indonesia harus dibangun secara berencana.
6.            Secara bertahap sebaiknya dikembangkan terminologi birokrasi yang sesuai dengan konteks filsafati dan idiologi kita.
Lebih lanjut praktisi administrasi negara yang adalah mantan Menteri Sekretaris Negara masa pemerintahan Pesiden Soeharto ini, merumuskan sebuah definisi kerja birokrasi pemerintahan seperti berikut :
“Birokrasi Pemerintahan adalah seluruh jajaran badan eksekutif sipil, yang dipimpin oleh pejabat pemerintah dibawah tingkat menteri, yang tugas pokoknya adalah menindaklanjuti keputusan politik yang telah diambil pemerintah” (ibid).
            Dengan mencermati kontur model birokrasi Indonesia seperti tersebut diatas, kita dapat melihat bagaimana besar harapan yang ditumpukan pada birokrasi dalam penyelenggaraan tugas tugas pemerintahan dan tugas pembangunan. Harapan ini adalah hal yang logis, terlebih pembentukan birokrasi pada dasarnya dimaksudkan untuk melaksanakan prinsip prinsip organisasi secara lebih efisien. Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya birokrasi malah membuat berbagai ketidakefisienan (Nurharjadmo 1991). Birokrasi, memang dapat menjadi kekuatan yang baik untuk pertumbuhan (sebagai hasil kegiatan yang efisien) tetapi juga dapat menjadi alat yang menghambat pertumbuhan.
Di Barat pada umumnya, birokrasi lahir sebagai produk dari proses industrialisasi. Proses industrialisasi yang semakin meluas, menuntut masyarakatnya untuk menekankan nilai nilai individualitas, spesialisasi serta profesionalisme. Nilai nilai tadi telah melandasi perkembangan birokrasi untuk menjadi alat yang efisien dari masyarakat dalam mencapai tingkat kemajuan yang diinginkannya. Pertumbuhan dalam birokrasi relatif seimbang antara birokrasi publik dengan birokrasi perusahaan (private). Dengan demikian, gerak industrialisasi yang merupakan usaha swasembada masyarakat, akhirnya dapat berkembang nyaris tanpa intervensi
Di Indonesia, khususnya sejak era orde baru, birokrasi tumbuh sebagai instrumen untuk menggalakkan  industrialisasi dan modernisasi masyarakatnya. Hasil hasil pembangunan dalam bidang ekonomi, pertanian, kesehatan, Keluarga Berencana, perumahan dan lain lain, untuk sebagian besar adalah merupakan hasil karya birokrasi kita. Birokrasi Indonesia, dalam mengemban tugas pemerintahan dan tugas tugas pembangunan yang semakin kompleks, memadukan dua kekuatan besar yang saling menopang yakni intelektual dan militer. Militer dengan jiwa nasionalisme cukup berandil dalam membersihkan pengaruh pengaruh primordial, dan kaum intelektual, dengan konsep konsep pembangunannya yang rasional, telah memberikan bobot yang tinggi pada program program pembangunan nasional.
Hasil hasil karya birokrasi dalam pembangunan nasional dapat tercapai, karena terciptanya stabilitas yang mantap, yang dianggap sebagai sine qua non  kontinuitas pembangunan. Tingginya kehendak untuk mencapai akselerasi hasil hasil pembangunan, ternyata tidak diiringi oleh potensi swasta yang solid, sehingga menyebabkan perlunya intervensi pemerintah yang kemudian menyusup hampir kesemua sektor kehidupan masyarakat. Disamping itu, latar belakang sosial budaya masyarakat belum begitu kondusif dalam mendorong tumbuhnya budaya birokrasi yang bersih dan efisien.
Adapun nilai budaya yang telah berpengaruh terhadap birokrasi kita antara lain (lihat Muhajir Darwin 199, Muhaimim 1980) :
1.            Budaya formalisme yang melahirkan birokrasi yang mengutamakan simbol simbol dan seremonial seremonial ketimbang produktivitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
2.            Budaya feodalisme dan paternalisme yang melahirkan birokrasi dengan orientasi status dan senioritas lebih menonjol, ketimbang profesionalisme dan kreativitas.
3.            Jiwa kekeluargaan yang menghasilkan nepotisme dalam pemberian pelayanan publik.
4.            Budaya upeti dan kaburnya demarkasi dinas-pribadi, yang pada gilirannya melahirkan korupsi dan penyalahgunaan harta kekayaan negara.
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa ,budaya masyarakat lokal Indonesia telah mempengaruhi dan ikut mewarnai prilaku birokrasi kita. Disamping pengaruh budaya lokal itu, juga adanya sistem kekuasaan yang monolit dan lemahnya kontrol politik terhadap birokrasi telah memberikan iklim yang subur bagi berkembangnya penyimpangan penyimpangan dalam birokrasi. Timbulnya penyimpangan penyimpangan ini, akhirnya membuat citra negatif (red-tape) terhadap kinerja birokrasi pemerintah . Dipihak lain, gerak lajunya pembangunan (di Indonesia) memang telah membawa serta upaya upaya untuk merubah pola prilaku birokrasi kearah prosedur dan cara cara kerja yang lebih efisien.

B.     GOOD GOVERNANCE,HANYA SEBUAH WACANA?
Pada masa orde reformasi dan orde sesudahnya (hingga saat ini), reformasi birokrasi telah banyak diwacanakan dan diagendakan,bahkan mungkin telah betul betul secara serius dilaksanakan. Beberapa  diantaranya adalah diberlakukannya PP No.8 tahun 2003 tentang restrukturisasi organisasi pemerintah daerah dengan konsep MSKF (Miskin Struktur Kaya fungsi).Tujuannya jelas jelas adalah untuk rasionalisasi birokrasi di lingkup pemerintahan daerah. Kemudian juga ada perubahan paradigma dari UU Nomor 5 tahun 1974 yang menggunakan the structural efficensy model menuju UU Nomor 22 tahun 1999 yang selanjutnya diperbaharui dengan UU Nomor 32 tahun 2004 yang lebih cenderung menggunakan the local democracy model (Tim Fisipol Unwar,2006) . Agenda reformasi tersebut tampaknya merupakan jawaban atas semakin meningkatnya tuntutan masyarakat serta banyak didorong oleh konsep konsep perubahan yang datang dari luar Indonesia seperti entrepreneurial bureaucracy, reinventing government, good governance dan sebagainya.
Good governance misalnya, adalah suatu mekanisme kerja,dimana aktivitas pemerintahan berorientasi pada terwujudnya keadilan social dimana pemerintah diharapkan mampu secara maksimal melaksanakan 3 fungsi dasarnya yakni service,development,empowerment. Adapun konsekuensi dari pelaksanaan good governance,setidaknya terlihat dari 3 hal berikut : pertama,pemerintah mengambil posisi sebagai fasilitator dan advocator kepentingan public, kedua, adanya perlindungan yang nyata terhadap “ruang dan wacana” public,serta yang ketiga, mengakui dan menghormati kemajemukan politik dalam rangka mendorong partisipasi dan mewujudkan desentralisasi (ibid).
Meskipun banyak agenda reformasi telah diintrodusir,dalam prakteknya perubahan tersebut cukup sulit dilakukan. Beberapa data membuktikan bahwa birokrasi public di Indonesia pada era reformasi belum sepenuhnya siap menghadapi perubahan.Pertama,laporan dari the world competitivness yearbook tahun 1999 yang menyatakan bahwa birokrasi Indonesia berada pada kelompok Negara Negara yang memiliki indeks competitivness yang paling rendah diantara 100 negara yang diteliti (Cullen& Cushman,2000).kedua,hasil penelitian PSKK UGM tahun 20000 di 3 provinsi yang menyimpulkan bahwa kinerja birokrasi dalam pelayanan public masih amat buruk disebabkan oleh kuatnya pengaruh paternalisme (Dwiyanto,20003).Ketiga, hasil kajian political and economic risk consultancy di 14 negara tahun 2001,menyatakan adanya indikasi kinerja birokrasi di Indonesia yang makin buruk dan korup (Kompas,22 juni 2001) Sementara itu,dalam lokus Negara Negara berkembang, studi Dwight King (1989) mengungkapkan beberapa sisi buram ciri birokrasi di negara berkembang seperti : tidak efisien, jumlah pegawai yang berlebihan, tidak modern atau ketinggalan jaman, seringkali menyalahgunakan wewenang, tidak ada perhatian atau mengabaikan daerah daerah miskin dan tidak tanggap atas keragaman kebutuhan dan kondisi daerah setempat.
Terkait dengan sulitnya melakukan perubahan dalam tubuh birokrasi,ada seorang pakar yang mengatakan bahwa sejumlah gejala autisme telah menjangkiti tubuh birokrasi.Symptomp-sumptomp yang menunjukkan autisme itu antara lain : (Triputro,R.Widodo,2005)
1.      Birokrasi cenderung mempertahankan kebiasaan yang sudah mapan,sehingga sangat sulit menerapkan perubahan
2.      Birokrasi sulit menerima konsep konsep pembaharuan atau pelajaran, apalagi pelajaran itu datangnya dari pihak lain
3.      Birokrasi pandai meniru-nirukan konsep konsep perubahan (reinventing government,wirausaha birokrasi, clean government & good governance,dll
4.      Asik dengan kesibukan sendiri termasuk menyibukkan diri dengan mengidentifikasi konsep perubahan/reformasi,tetapi tidak ada hasil yang signifikan
Menanggapi lemahnya kinerja birokrasi dan dalam rangka mewujudkan good governance, setumpuk resep, pendekatan, strategi, model / paradigma reformasi telah diberikan oleh banyak pakar.Mulai dari penerapan merit system dalam rekcruitment aparatur, perbaikan system-struktur atau penataan kelembagaan, aturan organisasi,pedoman kerja,penerapan asas keadilan dan ketegasan dalam hal reward and punishment sampai kepada perubahan mind set aparatur dan cultural set –nya.
Bahkan,saat ini sedang digodok,rancangan undang undang baru yang juga dalam rangka mewujudkan good governance,yaitu UU tentang Administrasi Pemerintahan dan UU  Etika Penyelenggaraan Negara.Diharapkan rancangan UU yang sarat dengan semangat reformasi ini bisa dibahas di DPR RI tahun ini.Penulis kebetulan terlibat dalam Uji Materi RUU tersebut pada tanggal 20 september 2007,yang merupakan kegiatan ke 4,kegiatan mana sebelumnya telah dilakukan berturut turut mulai tanggal 14 dan 28 Mei 2007 di Jakarta khusus untuk pejabat pemerintahan tingkat pusat dan pada tanggal 18 September 2007 di Surabaya untuk pejabat pemerintah propinsi Jawa Timur,Peradilan TUN, kejaksaan, kepolisian, LSM dan Perguruan Tinggi.Sedangkan untuk RUU Etika penyelenggaraan Negara telah diadakan lokakarya pada 7 daerah provinsi yang mewakili wilayah Timur,Tengah dan Barat Indonesia (Sambutan Menpan,2007). Akankah payung hukum ini mampu mengemban misi reformasi?ataukah akan bernasib sama seperti UU sejenis yang telah ada.
 BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Harapan kita semua,good governance segera terwujud di negeri tercinta ini sehingga masyarakat Indonesia menuai kesejahteraan lahir dan bathin seperti harapan para founding father kita. Maka disini, peran para penyelenggara pemerintahan Negara dan kaum birokrat kita merupakan  ujung tombak keberhasilannya dan kita semua rakyat Indonesia harus berperan aktif menopangnya.
Good governance misalnya, adalah suatu mekanisme kerja,dimana aktivitas pemerintahan berorientasi pada terwujudnya keadilan social dimana pemerintah diharapkan mampu secara maksimal melaksanakan 3 fungsi dasarnya yakni service,development,empowerment. Adapun konsekuensi dari pelaksanaan good governance,setidaknya terlihat dari 3 hal berikut : pertama,pemerintah mengambil posisi sebagai fasilitator dan advocator kepentingan public, kedua, adanya perlindungan yang nyata terhadap “ruang dan wacana” public,serta yang ketiga, mengakui dan menghormati kemajemukan politik dalam rangka mendorong partisipasi dan mewujudkan desentralisasi (ibid).
B.     Saran
Kami memahami bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritikan teman-teman demi kesempurnaan makalah selanjutnya

REFERENSI
Bryant, Coralie & White, Louis G., Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkembang, Rusyanto L.(Peny) LP3ES, Jakarta, 1987.
Cullen,Ronald B & Donald P.ushman (2000), Transitions to competitive government: speed,consensus and performance,Albany,New York: State university of New York Press.
Dwiyanto,Agus dkk., Teladan dan Pantangan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Otonomi Daerah,Galang Printika,Yogyakarta,2003
Graham, Cole B., Jr., & Hays S.W., Managing The Public Organization, Washington DC : CQ Press, 1986.
Jackson, Karl D., The Implication of Structure and Culture in Indonesia on Jackson, Karl D., & Pye, Lucian W., eds., Political Power and Communication in Indonesia, 1978.
King, Dwight Y., Pengawasan dan Birokrasi di Negara Berkembang, dalam Prisma, LP3ES, 1989.
Luthans, Fred, Organization Behaviour, Mc-Graw Hill Book, New York 1973.
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara,sambutan pada acara Uji Materi RUU Administrasi Pemerintahan dan RUU Etika Penyelenggara Negara Tingkat Provinsi Bali,Denpasar 20 September 2007
Mustopadidjaja, AR.,Paradigma Pembangunan Administrasi Negara dan Manajemen Pembangunan, Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Negeri, Jakarta.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar