Senin, 02 Januari 2012

Proses Belajar Experiensial

BAB I
PENDAHULUAN

RAFIUDDIN, ABY DASTA SYAM
A.    Latar Belakang
Apakah yang disebut dengan pengalaman? Pengalaman dapat didefinisikan sebagai tindakan yang menghasilkan, menciptakan, dan menemukan pengetahuan yang berdampak pada masa mendatang. Definisi pengalaman dapat ditilik dari kajian berbagai aliran dalam bidang filsafat seperti: Empirisime, Empirisme Radikal, dan Pragmatisme (Vaneecia Lark, 2004).
Paham Empirisme mengaitkan secara langsung dengan pengalaman hanya jika kita mendasarkan semua pengetahuan pada pengalaman, kita juga masih dapat memperoleh pengetahuan tentang pengalaman itu sendiri. Isi dari pengalaman adalah ‘whats’ / apa-apa yang kita alami. Kondisi dari pengalaman adalah ‘hows’ /bagaimana kita mengalami. Contohnya, pada saat besi panas disentuh pertama kali oleh seorang anak kecil, anak tersebut secara otomatis akan mengibaskan tangannya dengan segera, dan mengingat-ingat sebuah pengalaman akan rasa sakit berkaitan dengan tindakannya.  Setiap saat nanti, di masa yang selanjutnya, kapanpun, anak tersebut berhadapan dengan besi itu, dia tahu bahwa dia tidak akan menyentuhnya. Isi (atau ‘what’/apa) dari situasi ini adalah rasa sakit, dan kondisi (atau ‘how’ atau bagaimana) adalah melalui besi panas. Oleh karenanya rasa sakit secara langsung terdefinisi dan dikaitkan dengan panas melalui sebuah pengalaman. Kita hanya akan tahu dan mengalami bagaimana sesuatu terjadi, yang diklasifiksikan dengan ‘fenomenal’, dan tak sesuatu pun yang berisi dengan sendirinya, yang diklasifikasikan dengan ‘noumenal’. Noumena tidak akan dialamai karena kita tidak memiliki akses langsung pada segala hal seperti,contohnya, pikiran orang lain.
            Empirisme radikal memposisikan ‘pengalaman murni’ sebagai satu-satunya realita di alam ini.   Pengalaman   murni     dikaitkan   secara   bersama - sama  dengan
sendirinya (asap-api, panas-sakit, es-dingin). Dengan kata lain, satu pengalaman mengarahkan pada pengalaman lainnya seperti sebuah ‘reaksi-berantai’. Contohnya, setelah memiliki pengalaman pekerjaan tetentu maka orang akan berkualified dalam bidang pekerjaan tersebut. Pengalaman yang dipelajari dalam pekerjaan tersebut akan memberikan dampak pemberian gaji yang tinggi dan lain sebaginya. Dengan perkataan lain, hal ini dapat mengacu pada pengalaman untuk mampu mengetahui, meyakini, meragukan, dan mengingat pengalaman-pengalaman lainnya. Dalam realism secara umum, dan dualism pikiran dan tubuh, pengalaman mengaitkan pikiran dan permasalahan bersama-sama untuk membentuk empirisme radikal.
            Pragmatisme mengaitkan pengalaman dengan metode saintifik melalui metode ‘hipotesis’ dan ‘eksperimen’. John Dewey menyatakan pengalaman sebagai aktif dan pasif. Dia mengidentifikasi bagian aktif dari pengalaman sebagai’percobaan’ atau ‘mencoba’. Hasil dari mencoba tersebut berdampak pada unsur pasif. Dewey mengatakan bahwa kita harus bertindak, dan melihat sebagai konsekuensi agar mengalami/berpengalaman. Dengan kat alain, jika tak ada control secara sadar dari tindakan-tindakan yang memerlukan keputusan, dan tindakan tersebut merupakan rutinitas, atau sebuah tindakan tak sengaja, maka tak ada pengalaman yang muncul. Dia mengacu pada pemikiran sebagai (pengalaman reflektif) yang menganalisa keterkaitan antar segala hal yang kita lakukan dan konsekuensi-konsekuensi yang berakibat, atau persoalan dengan solusi. ‘Pengalaman yang biasa’ adalah trial dan error.
            Pengalaman merupakan topik yang cukup luas. Bagaimanapun, pengalaman merupakan dasar semua pengetahuan, kebijakan, pemahaman, dan makna. Pengalaman mengarah pada berbagai isu yang secara langsung berkaitan dengan persepsi seperti teori-teori di atas dan lainnya.
Sementara itu James Neill (2004) mengatakan bahwa pengalaman mengacu pada segala peristiwa yang telah dialami oleh seseorang. Pengalaman adalah segala sesuatu yang terjadi pada diri kita sepanjang hidup kita.
John Dewey menyatakan bahwa pengalaman selalu berdampak pada masa depan dari seseorang, entah itu berdampak baik maupun buruk. Dari uraian ini, dapatlah dikatakan bahwa pengalaman mempengaruhi masa depan seseorang.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka rumusan makalah Ilmiah ini adalah sebagai berikut:
  1. Bagaimana Dasar Pemikiran Penggunaan Experiential Learning?
  2. Bagaimana Proses Experiential Learning (filosofi, & siklus)?
  3. Bagaimana Penerapan Experiential Learning dalam Pembelajaran?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui bagaimana Dasar Pemikiran Penggunaan Experiential Learning
2.      Untuk mengetahui bagaimana Proses Experiential Learning (filosofi, & siklus)
3.      Untuk mengetahui bagaimana Penerapan Experiential Learning dalam Pembelajaran
D.    Metode Penulisan
Metode penulisan yang kami pergunakan dalam pembuatan makalah ini yaitu dengan menggunakan library research yaitu metode yang menggunakan buku-buku perpustakaan yang berhubungan dengan tema makalah yang kami buat sebagai bahan utama maupun penunjang dalam pembuatan makalah Ilmiah ini.

BAB II
PEMBAHASAN

Experiential Learning adalah suatu proses belajar mengajar yang mengaktifkan pembelajar untuk membangun pengetahuan dan keterampilan serta nilai-nilai juga sikap melalui pengalamannya secara langsung. Oleh karena itu, konsep Experiential learning ini akan bermakna tatkala pembelajar berperan serta dalam melakukan kegiatan.  Setelah itu, mereka memandang kritis kegiatan tersebut (Isah Cahyani, 2001).  Kemudian, mereka mendapatkan pemahaman serta menuangkannya dalam bentuk lisan atau tulisan sesuai dengan tujuan pembelajaran.   Dalam hal ini, Experiential Learning  menggunakan pengalaman sebagai katalisator untuk menolong pembelajar mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses pembelajaran.
Experiential Learning tidak hanya memberikan wawasan pengetahuan konsep-konsep saja.  Namun, juga memberikan pengalaman yang nyata yang akan membangun keterampilan melalui penugasan-penugasan nyata.  Selanjutnya, masih menurut Isah Cahyani, konsep experiential learning ini akan mengakomodasi dan memberikan proses umpan balik serta evaluasi antara hasil penerapan dengan apa yang seharusnya dilakukan.
A.           Dasar Pemikiran Penggunaan Experiential Learning
            Experiential Learning didasarkan pada beberapa pendapat sebagai berikut:
  1.  pembelajar dalam belajar akan lebih baik ketika mereka terlibat secara langsung dalam pengalaman belajar,
  2. adanya perbedaan-perbedaan secara individu dalam hal gaya yang disukai,
  3. ide-ide dan prinsip-prinsip yang dialami dan ditemukan pembelajar lebih efektif dalam pemerolehan bahan ajar,
  4. komitmen peserta dalam belajar akan lebih baik ketika mereka mengambil tanggung jawab dalam proses belajar mereka sendiri, dan
  5. belajar pada hakekatnya melalui suatu proses.
B.            Proses Experiential Learning (filosofi, & siklus)
  1. Filosofi & Siklus

Confucius
Tell me, and I will forget.
Show me, and I may remember.
Involve me, and I will understand.
-
Confucius, 450 B.C.
John Dewey
...there is an intimate and necessary relation between the processes of actual experience and education.
- John Dewey, 1938
(http://wilderdom.com/experiential/elc/ExperentialLeraning.Cycle.html#introduc.)
            Untuk lebih mendalami konsep experiential learning atau belajar berdasarkan pengalaman, berikut dipaparkan beberapa pendapat yang berasal dari para penggagas konsep experiential learning. Diartikulasikan oleh David Kolb[1], dengan memanfaatkan pemikiran dari berbagai pakar seperti John Dewey, Jean Piaget, Carl Jung, dan Kurt Lewin, dan lain-lain, teori belajar eksperiensial menggambarkan kegiatan belajar sebagai lingkaran dengan 4 tahap: (a) concrete experiencing, (b) observations and reflections, (c) formation of abstract concepts and generalizations, dan (d) testing implications of concepts in new situations. Keempat tahap ini merupakan modus-modus dasar yang digunakan individu di dalam bergaul dengan lingkungannya, di dalam memahami pengalamannya. Oleh karena itu, untuk memahami gejala belajar, perlu dipahami baik proses terjadinya belajar itu sendiri maupun "pengetahuan"[2] ) yang dihasilkannya (T. Raka Joni, 1993).
Hal ini juga ditegaskan oleh James Neill yang mengatakan bahwa Deweyian, kaum yang menganut paham experiential learning-nya John Dewey, menyatakan “…that Experiential Learning Cycle models emphasize that the nature of experience as of fundamental importance and concern in education and training” (James Neill, 2004). 
Secara struktural, keempat modus dasar tersebut membentuk 2 dimensi dengan 2 kutub yang berlawanan, yaitu dimensi prehension atau pemahaman terhadap pengalaman (the grasping of experience), di samping dimensi transformation atau perlakuan terhadap "isi" pengalaman tersebut. Dimensi pemahaman dibatasi oleh 2 kutub yaitu kutub apprehension atau “penangkapan" terhadap berbagai stimulus sebagaimana adanya tanpa disertai analisis atau perlakuan lainnya, yang merupakan ciri modus concrete experiencing, dan kutub comprehension atau "pemahaman" terhadap pengalaman dalam arti bahwa kesan yang diperoleh telah dianalisis dan/atau diklasifikasi sehingga dapat diberi label sebagai representasi dari realitas, yang merupakan ciri modus abstract conceptualization. "Tangkapan" terhadap dunia luar melalui apprehension akan "lepas" begitu si subjek yang mengalami pengalaman itu memindahkan perhatian dan/atau dirinya dari dunia luar yang dialaminya itu. Sedangkan "pemahaman" terhadap dunia luar melalui comprehension, direpresentasikan dengan berbagai simbul antara lain sistem simbul verbal, sehingga dapat dikomunikasikan teimasuk digunakan di dalam berpildr. Oleh karena itu, pemahaman dalam arti comprehension tidak lagi terikat oleh tempat dan waktu.
Dimensi transformation atau perlakuan terhadap isi pengalaman di dalam bergaul dengan dunia luar itu dibatasi oleh 2 kutub yaitu intention yang ditandai oleh manipulasi internal terhadap isi pengalaman yang dapat saja "lepas" dari dunia luar yang merupakan ciri modus reflective observation, dan kutub extension yang ditandai oleh kaitan erat dengan dunia luar yang merupakan ciri modus active experimentation. Penyelesaian ketegangan-ketegangan dialektik di antara kutub-kutub (apprehension vs comprehension dan intention vs extension) itulah yang menghasilkan aktivitas yang dinamakan belajar itu.
Yang penting untuk digarisbawahi adalah bahwa kutub-kutub tersebut bersifat setara dan tidak saling meniadakan (equipotent, coequal). Artinya,seandainya kemampuan yang dicerminkan melalui dimension prehension itu diskor, seseorang yang memperoleh skor tinggi dalam kemampuan “menagkap” dunia luar melalui pengalaan konkret tidak dengan sendirinya akan memperoleh skor rendah dalam kemampuan konseptualisasi abstrak, atau sebaliknya. Demikian juga mengenai kemampuan yang dicerminkan dalam dimensi transformasi; seseorang yang memperoleh skor tinggi dalam transformasi internal tidak dengan senirinya memiliki kelemahan dalam kemampuan memanipulasi “dunia luar”, atau sebaliknya.
Cara individu pembelajar memanfaatkan modus-modus dasar tersebut akan menentukan mutu proses belajar yang diwujudkannya, serta mutu hasil belajar yang diperolehnya. Pemakaian berlebihan salah satu modus, akan menghasilkan proses serta hasil belajar yang berat sebelah. Terlalu banyak akomodasi akan menghasilkan imitation, sementara terlalu banyak asimilasi akan membuahkan play, demikian Piaget. Sebaliknya, apabila keempat modus dipadukan secara kreatif, maka akan terjadi perkembangan yang ideal, sebab modus yang satu akan melengkapi modus yang lain.
Dengan semakin banyaknya kesempatan untuk belajar yang menantang pemaduan pemanfaatan modus  -  modus   dasar   tersebut,    individu    pembelajar     mengalami
perkembangan yang progresif. Artinya, setiap siklus pemanfaatan sejumlah modus dasar yang ditantang oleh situasi belajar, individu pembelajar memperoleh kemanfaatan dalam bentuk pengetahuan yang lebih tinggi mutunya — lebih mantap strukturnya, lebih luas cakupannya. Oleh karena itu, dengan berjalannya waktu, lingkaran belajar eksperiensial itu dapat dibayangkan menjadi spiral belajar eksperiensial, yang mencerminkan proses, hasil serta kemampuan belajar yang semakin meningkat.
Keempat kutub dari 2 dimensi kemampuan manusia bergaul dengan lingkungannya beserta pengetahuan yang dihasilkannya itu membentuk landasan konseptual teori belajar eksperiensial, sebab dari padanya itu dapat ditampilkan:
a.        strukturnya yang bersifat holistik — saling ketergantungan di antara komponen-komponennya tanpa memerlukan campur tangan kekuatan  dari luar model,
b.        proses transformasinya — caranya komponen-komponen struktural tersebut bertransaksi untuk mempertahankan dan mengembangkan diri, dan
c.         proses pengaturan dirinya — bagaimana sistem struktural itu mempertahankan identitas serta integritasnya,
yang digambarkan dalam bagan berikut (Mark K. Smith, 2006)
Dari bagan tersebut dapat diturunkan kembali seperti yang dirangkum oleh T. Raka Joni sebagai berikut:
Dengan 2 jenis proses transformasi (yaitu intention dan extension) terhadap 2 jenis hasil tangkapan terhadap pengalaman itu (yaitu apprehension dan comprehension), dihasilkanlah 4 bentuk dasar pengetahuan, yaitu:
a.    pengetahuan divergen, yaitu hasil tangkapan apprehension terhadap pengalaman, yang ditransformasikan melalui proses intention,

b.    pengetahuan assimilatif, yaitu hasil tangkapan comprehension terhadap pengalaman, yang ditransformasikan melalui proses intention,
c.    pengetahuan konvergen, yaitu hasil tangkapan comprehension terhadap pengalaman, yang ditransformasikan melalui proses extension, dan
d. pengetahuan akomodatif, yaitu hasil tangkapan apprehension terhadap
pengalaman, yang ditransformasikan melalui proses extension.
Learning, dan knowing, mencerminkan hasil tangkapan pengalaman (langsung dan/atau representasi figuratif) yang ditransformasikan (secara internal dan/atau dalam kaitan dengan dunia luar). Apabila salah satu dari kedua unsur tersebut tidak ada, maka learning atau knowing tidak terjadi. Artinya, persepsi terhadap pengalaman tanpa ditransformasikan, tidak menghasilkan learning dan knowing. Sebaliknya, transformasi tidak akan terlaksana tanpa ada "isi" yang ditransformasikan. Dalam hubungan inilah Kolb menunjukkan kelemahan Piaget yang lebih mementingkan proses mental atau transformasi, dengan mengabaikan "isi" yang ditransformasikan. Oleh karena itulah pula agaknya tingkat-tingkat perkembangan kognitif yang dihipotesiskan oleh Piaget tidak berhasil dikonfirmasikan secara cukup konsisten di berbagai masyarakat yang memiliki latar budaya berbeda-beda (Cf. gagasan Ferguson, 1954 dan 1956, mengenai overlearned abilities yang pembentukannya sangat banyak ditentukan oleh tantangan serta tuntutan lingkungan).
Pemikiran sejumlah pakar dapat ditunjukkan relevansinya dengan gagasan-gagasan dasar teori belajar eksperiensial ini. Kedua kutub proses transformasi pengalaman ini nampaknya sejalan dengan tipologi Jung yaitu introversion (intention) dan extraversion (extension)'. Perlu dicatat bahwa belakangan ahli-ahli psikologi memodifikasi tipologi Jung ini menjadi suatu dimensi yang kedua kutubnya saling meniadakan — kedominanan satu kutub dianggap dengan sendirinya.
Rorschach juga mengajukan gagasan tentang 2 tipe kepribadian yang mirip dengan pikiran Jung (T. Raka Joni, 1993) yaitu ketika ia berbicara mengenai apa yang dinamakannya experience balance. Dinyatakan sebagai rasio antara frekuensi respons yang lebih dipengaruhi oleh warna tinta butir-butir tes Rorschach dengan frekuensi respons yang lebih dipengaruhi oleh gerakan "(movement) yang "dilihat" oleh testee dalam gambar yang dihasilkan oleh tetesan-tetesan tinta itu, experience balance menunjukkan kecenderungn testee untuk lebih dipengaruhi oleh dunia luar atau oleh proses psikologis yang terjadi di dalam dirinya; yang lebih dipengaruhi oleh warna tinta disebutnya extratensive yang mirip dengan extraversion, sedangkan yang lebih dipengaruhi oleh "gerakan" gambar dinamakannya intratensive yang mirip dengan introversion ala Jung.
Ahli psikologi Jerome Kagan, seperti yang diuraikan T. Raka Joni (1993) juga tampil dengan gagasan yang mirip dengan dimensi transformasi teori belajar eksperiensial. Dalam hubungan ini Kagan mengemukakan dimensi yang dinamakannya impulsivity vs reflection, yang mencerminkan tingkatan kecenderungan seseorang untuk merenungkan secara reflektif hipotesis pemecahan terhadap permasalahan yang diajukannya. Kecenderungan ini relatif menetap sepanjang hayat, yang nampaknya secara konsisten digunakan dalam mencoba memecahkan berbagai jenis permasalahan. Kecenderungan external transformation orientedness ditandai oleh dorongan besar untuk maksimalisasi keberhasilan, disertai dengan keberanian mengambil resiko untuk mengalami kegagalan atau melakukan kesalahan; dengan kekuatan di sisi manipulative, kecenderungan ini menandai banyak manajer dan administrator. Sedangkan kecenderungan intentional transformation orientedness ditandai oleh kehati-hatian yang tinggi untuk menghindari kegagalan dan/atau kesalahan, kalau perlu dengan melepaskan peluang untuk memperoleh sukses yang dianggap mengandung resiko; dengan kekuatan di sisi perceptual.
Namun apabila dirangsang secara tepat, tuntutan lingkungan dapat mengakibatkan terjadinya pergeseran dalam kecenderungan ini. Di dalam eksperimentasi di mana subjek diberitahu bahwa yang dipentingkan adalah keberhasilan memecahkan sebanyak mungkin soal di dalam waktu yang relatif terbatas, kecenderungan untuk menjadi impulsif akan meningkat. Sebaliknya, apabila waktu kerja mencukupi dan/atau jawaban salah akan mengakibatkan dikenakannya semacam denda, maka subjek cenderung menjadi lebih reflektif.
2. Individualitas dan Gaya Belajar
Selain itu, berlainan dengan Piaget yang melihat perkembangan dari operasi konkret ke arah operasi formal sebagai perwujudan pertumbuhan, Kolb, demikian T. Raka Joni menjelaskan (1993), melihat kutub-kutub tersebut sebagai modus-modus yang unik yang relatif tetap bertahan sepanjang hayat individu. Dalam hubungan inilah Kolb berbicara tentang gaya belajar (learning styles) yang berbeda-beda dari satu orang ke orang yang lain meskipun, sampai dengan batas tertentu, penonjolan sesuatu modus dapat dipicu dan dipacu melalui rangsangan lingkungan belajar yang sesuai— gaya belajar dapat berubah.
Iterasi pemanfaatan secara khas keempat modus dasar untuk menghadapi tantangan situasi belajar oleh masing-masing individu concrete experiencing, reflective observation, abstract conceptualization, dan active experimentation — sebagaimana dikemukakan dalam bagian sebelumnya, juga sekaligus merupakan pembentukan gaya belajar, sebab individu pembelajar cenderung untuk konsisten di dalam mendekati berbagai permasalahan. Bahkan, gaya belajar itu dapat dilihat penerapannya pada 5 lapisan tingkah laku, mulai dari yang bersifat paling umum sampai dengan yang secara sangat spesifik terkait dengan sesuatu kegiatan yang bersifat situasional. Kelima lapisan penerapan gaya belajar tersebut adalah (a) sebagai tipe kepribadian ala
Jung, (b) di dalam menyiapkan diri dalam rangka pembentukan spesialisasi, yang mulai terjadi di sekolah menengah dan memuncak di perguruan tinggi, (c) di dalam pelaksanaan tugas-tugas yang berkaitan dengan karir profesional, (d) di dalam memainkan peranan khas yang dituntut oleh pekerjaan/jabatan, dan (e) sebagai kemampuan adaptif khas yang bersifat ideosinkratik ketika menghadapi masalah yang spesifik, yang jugs lazim dikenal sebagai kreativitas. Dengan kata lain, individualitas tidak merupakan penyimpangan dari suatu cetak biro alamiah yang bersifat normatif, yang mengakibatkan perbedaan individual harus lebih dianggap sebagai "penyimpangan yang salah" (Cf.pandangan mengenai error variance dalam desain eksperimental). Sebaliknya, keunikan individual itu merupakan "... a positive, adaptive adjustment of the human species", yang telah membuat ummat manusia behasil survive. Oleh karena itu, penelitian terhadap tingkah-laku manusia yang hasilnya diterapkan dalam penyelenggaraan berbagai layanan termasuk pendidikan, mempunyai ciri khas yang berbeda dari ilmu-ilmu alamiah — penemuan hukum­ yang berlaku umum samapentingnya dengan pemahaman terhadap tiap individu yang unik itu. Penafsiran secara normatif berbagai hasil pengukuran psikologis harus dilakukan dengan amat sangat hati-hati sehingga tidak tergelincir menjadi stereotyping.
a)             Disarikan dari Tennant (1996; Mark K. Smith, 2006)
Learning style 
Learning characteristic
Description
Converger
Abstract conceptualization + active experimentation
o   strong in practical application of ideas
o   can focus on hypo-deductive reasoning on specific problems
o   unemotional
o   has narrow interests
Diverger
Concrete experience + reflective observation
o  strong in imaginative ability
o  good at generating ideas and seeing things from different perspectives
o  interested in people
o  broad cultural interests

Assimilator
Abstract conceptualization + reflective observation
o  strong ability to create theoretical models
o  excels in inductive reasoning
o  concerned with abstract concepts rather than people

Accommodator
Concrete experience + active experimentation
o  greatest strength is doing things
o  more of a risk taker
o  performs well when required to react to immediate circumstances
o  solves problems intuitively 
3 Karakteristik Belajar Eksperiensial
Untuk mendalami lebih jauh pengertian belajar eksperiensial di bawah ini dikemukakan sejumlah karakteristik.
a)   Belajar paling tepat digambarkan dari segi prosesnya, bukan dari segi hasilnya.
Belajar adalah suatu proses di mana konsep-konsep dijabarkan dari, di samping selalu dimodifikasi melalui, pengalaman. Penggambaran belajar hanya berdasarkan hasilnya, kurang membantu upaya merancang dan menyelenggarakan program pembelajaran, atau di dalam merancang dan menerapkan prosedur penilaiannya secara lebih tepat.
b)   Belajar merupakan proses yang berkelanjutan yang berpijak pada pengalaman.
Pengetahuan secara terus-menerus diangkat dari, dan diuji melalui, pengalaman pembelajar— dengan kata lain, all learning is re-learning. Oleh karena itu, seorang guru harus melihat tugasnya bukan untuk memfasilitasi perolehan informasi dan gagasan baru saja, akan tetapi juga untuk meninggalkan atau memodifikasi informasi dan gagasan yang telah dimiliki oleh individu pembelajar.
c)    Proses belajar merupakan penyelesaian terhadap pertentangan dialektik antara modus-modus dasar yang saling berlawanan untuk beradaptasi kepada lingkungan (dialectically opposed modes of adaptation to the world).
Kedua pasang modus dasar adaptasi kepada lingkungan itu adalah ixa-lampuan (a) menghayati pengalaman konkret, dan (b) melakukan abstraksi konseptual, serta kemampuan (c) melakukan observasi secara reflektif dan (d) bereksperimentasi secara aktif. Dengan perkataan lain, pembelajar harus mampu menceburkan diri secara utuh, dan terbuka serta tanpa prasangka, ke dalam pengalaman-pengalaman baru; "mengamati" secara reflektif pengalamannya dari sejumlah sudut pandangan; mengintegrasikan pengalamannya secara logis sehingga membentuk "teori-teori"; dan memanfaatkan teori-teori tersebut untuk mengambil keputusan  dan memecahkan masalah. Yang penting diingat sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, adalah bahwa kutub-kutub yang bertentangan itu justru harus saling melengkapi, dan bukan saling meniadakan, sehingga menghasilkan mutu belajar yang lebih tinggi apabila dipadukan penerapannya.
d) Belajar adalah suatu proses adaptasi terhadap dunia luar secara holistik.
Pada hakekatnya, belajar adalah pemanfaatan secara integratif fungsi­fungsi suatu organisme—berpilkir, merasa, mengamati, dan bertingkah laku. Dengan kata lain, ekspresi afektif melalui seni serta renungan metafisik yang digunakan dalam mendalami filsafat dan agama, harus diberi tempat yang sejajar dengan pemahaman terhadap dunia luar melalui akal. Selain itu, belajar dapat terjadi kapan saja, di mana saja, tidak terbatas hanya pada lembaga-lembaga yang secara formal diadakan untuk keperluan belajar. Oleh karena itu, belajar eksperiensial (a) menjembatani berbagai latar kehidupan di mana gejala belajar terjadi yaitu sekolah, dunia kerja serta kehidupan pada umumnya sehingga belajar merupakan  proses    berkesinambungan
sepanjang hayat, (b) menyoroti kesamaan antara berbagai kegiatan adaptif yang secara tradisional diberi nama berbeda-beda yaitu belajar, kreativitas, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan penelitian ilmiah, dan (c) mencakup seluruh rentangan sistem unjuk kerja yaitu (i) performance, atau kemampuan mereaksi terhadap situasi yang terbatas, (ii) development, atau proses adaptif yang berjangka relatif panjang, dan (iii) learning, yaitu penguasaan terhadap sejumlah jenis situasi tertentu.
e)    Belajar merupakan transaksi antara individu dengan litngkungannya.
Dalam teori belajar yang beracuan person-centered, gejala dan kegiatan belajar seolah-olah tercabut dari konteksnya. Dalam pandangan belajar eksperiensial, antara individu dengan Lingkungannya bukan saja terjadi interaksi bahkan transaksi, karena antara individu dan terjadi hubungan yang bersifat saling mengubah. Perubahan lingkungan yang dihasilkan transaksi itu dapat membawa kemanfaatan, akan tetapi dapat pula membawa malapetaka, sebagaimana dapat kita saksikan di sekeliling kita. Dengan kata lain, terjadi hubungan yang lebih fluid dan interpenetrating antara pengalaman subjektif individu dengan kondisi objektif lingkungan. Oleh karena itu, belajar adalah "an active, self-directed process". Sementara untuk membantu mengarahkannya kepada peningkatan harkat kemanusiaan, pendidikan juga harus bersifat proactive.
f)     Belajar adalah proses penciptaan pengetahuan.
Belajar mencakup bentuk serta proses pembentukan pengetahuan melalui transformasi isi pengalaman. Bentuk serta proses pembentukan pengetahuan itu memiliki rentangan yang luas, mulai dari yang paling sederhana (bentuk dan proses pembentukan pengetahuan anak kecil bahwa "api itu panas") sampai dengan yang
sangat canggih dan rumit (bentuk dan proses pembentukan pengetahuan ilmuwan seperti misalnya teori "big bang" tentang terbentuknya alam semesta). Di samping itu, pengetahuan itu ada yang bersifat sosial (social knowledge) yang merupakan hasil akumulasi pengalaman budaya sekelompok dan yang bersifat personal (personal knowledge) yaitu hasil akumulasi pengalaman perorangan; interaksi di antara kedua itulah yang dinamakan belajar.
C.    Penerapan Experiential Learning dalam Pembelajaran
          Experiential Learning dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran keterampilan berbahasa, terutama dalam keterampilan berbicara dan menulis.  Berikut ini akan disajikan contoh penerapan Experiential Learning dalam pembelajaran menulis deskripsi, narasi, argumentasi, dan drama.
1.             Penerapan EL dalam Pembelajaran Menulis Deskripsi
Penerapan EL dalam pembelajaran menulis deskripsi dilakukan melalui tiga fase yaitu briefing, activity, dan review.
            Pada saat briefing, para pembelajar diminta memilih teman baru yang belum dikenal kemudian mereka saling mencermati dan meneliti temannya dengan teliti
a)             tuliskan namanya.  Apakah nama tersebut mengandung riwayat ?
b)             amati sosok tubuh: warna mata, warna kulit, warna rambut, bentuk rambut, dan gaya rambut,
c)             pakaiannya,
d)            tanyakan tempat dan tanggal lahirnya, nama kedua orang tuanya, asal daerah temannya, riwayat pendidikan temannya, hobinya, makanan kesukaannya, pandangan tentang kehidupannya, serta pengalaman yang paling berkesan.

Setelah itu, susunlah kerangka deskripsi teman dan tentukan judulnya.  Baru kemudian, mengembangkannya menjadi karangan deskripsi.
            Pada activity, para pembelajar melakukan kegiatan wawancara dengan teman barunya tentang hal-hal yang sudah diarahkan pada saat briefing.
            Pada review, para pembelajar diminta untuk mendeskripsikan hasil wawancara dan kesan yang dirasakannya selama proses kegiatan berlangsung ke dalam bentuk tulisan.
2.             Penerapan EL dalam Pembelajaran Menulis Narasi
            Fase briefing, pembelajar diarahkan untuk mengingat peristiwa yang dialaminya ketika berangkat dari rumah menuju sekolah.  Dalam perjalanan mereka pasti menemui berbagai peristiwa baik peristiwa menyenangkan, menyedihkan, maupun mengharukan atau bahkan menyebalkan.
            Fase activity, pembelajar menceritakan kembali peristiwa-peristiwa yang mereka alami dengan memperhatikan nama peristiwa, waktu motif, konflik, titik pandangan, dan pusat minat.
            Fase review, pembelajar saling berbagi dengan teman sekelas untuk mengambil hikmah dari peristiwa yang dialaminya.
3.             Penerapan EL dalam Pembelajaran Menulis Argumentasi
          Fase briefing, pembelajar diajak untuk berbicara tentang suatu masalah.  Pengajar dapat memanggil dua orang pembelajar untuk tampil ke depan kelas.  Berikanlah sebuah topik pembicaraan, misalnya tentang “narkoba”.  Satu pihak bertindak sebagai pembicara dan satu pihak lagi sebagai penyanggah.  Dengan demikian terjadilah debat di antara mereka.  Baik pembicara maupun penyanggah dalam mempertahankan pendapatnya pasti mengunakan bukti-bukti dan alasan yang kuat. 
Fase activity, para pembelajar  berdebat dan pembelajar pendengar menuliskan apa yang teman-temannya perdebatkan beserta bukti dan alasannya.
Fase review, pembelajar berbagi dengan temannya untuk mengecek tulisannya sesuai dengan tuntutan argumen yang diharapkan dalam karangan.
Penerapan EL dalam Pembelajaran Menulis Drama
Fase briefing, para pembelajar dibagi menjadi beberapa kelompok.  Kemudian memilih satu topik yang sudah disediakan.  Setelah itu, mereka diminta mengembangkan topik yang dipilihnya untuk dijadikan naskah dengan peran sesuai dengan jumlah anggota kelompok.
Fase activity, pembelajar menuliskan drama satu babak berdasarkan topik yang dipilihnya.  Mereka membagi kegiatan dalam penokohan, kegiatan, ucapan, dan ekspresi. Misalnya:

Penokohan
Kegiatan
Ucapan
Ekspresi
Amila
Bersalaman
Hallo, apa kabar ?
Tersenyum

Fase review, pembelajar membuat salinan konsep drama menjadi naskah yang sesungguhnya.
              
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Experiential Learning adalah suatu proses belajar mengajar yang mengaktifkan pembelajar untuk membangun pengetahuan dan keterampilan serta nilai-nilai juga sikap melalui pengalamannya secara langsung. Oleh karena itu, konsep Experiential learning ini akan bermakna tatkala pembelajar berperan serta dalam melakukan kegiatan.  Setelah itu, mereka memandang kritis kegiatan tersebut (Isah Cahyani, 2001).  Kemudian, mereka mendapatkan pemahaman serta menuangkannya dalam bentuk lisan atau tulisan sesuai dengan tujuan pembelajaran.   Dalam hal ini, Experiential Learning  menggunakan pengalaman sebagai katalisator untuk menolong pembelajar mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses pembelajaran.
Experiential Learning tidak hanya memberikan wawasan pengetahuan konsep-konsep saja.  Namun, juga memberikan pengalaman yang nyata yang akan membangun keterampilan melalui penugasan-penugasan nyata. 
B.     Saran
Kami memahami bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritikan teman-teman demi kesempurnaan makalah selanjutnya

 DAFTAR PUSTAKA
Isah Cahyani. (2001). Peran experiential learning dalam meningkatkan motivasi pembelajar   BIPA. http://www.ialf.edu/kipbipa/abstracts.html. Diakses tanggal 16 Januari 2011, pukul 14.32 wib.
James Neill. (2004). http://wilderdom.com/experiential/elc/ExperentialLeraning.Cycle.html#introduction. 11 Desember 2004. Diakses tanggal 16 Januari 2011, pukul 10.00 wib).
James Neill. (2004). http://wilderdom.com/JamesNeill.htm. 11 Desember 2004. Diakses tanggal 16 Januari 2011, pukul 10.03 wib.
Mark K. Smith. (2006). David A. Kolb on experiential learning.  http://www.infed.org/biblio/b-explrn.htm . Diakses 16 Januari 2011, pukul 10.00 wib.
T. Raka Joni. (1993). Penilaian hasil belajar. Jakarta: Ditjen Dikti.
Vaneecia Lark. (2004). Experience.  http://personal.ecu.edu/mccartyr/american/leap/experien.htm. Diakses tanggal 16 Januari 2011, pukul 14.02 wib.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar